Jogja, Menulis opini itu pada dasarnya membuat ide baru dari bahan bacaan
yang pernah kita santap. Dari bahan bacaan itulah kita mendapatkan
informasi baru yang kemudian kita tulis dalam bahasa sendiri. Ini yang
disebut mereproduksi ide. Tak mungkin ada penulis hebat kalau ia bukan
rajin membaca dan menelaah. Suatu keajaiban kalau ada penulis yang
mengaku piawai menulis tanpa membaca terlebih dahulu. Nah, karena
menulis opini itu mereproduksi ide, ada beberapa hal yang bisa dilakoni.
@Pertama, kuasai topik
Menulis akan terasa menyenangkan jika topiknya kita kuasai dengan baik.
Kita mengerti betul dengan tema itu. Kita mudah merangkai kata,
mereproduksi ide dalam topik itu. Kalaupun ada hal yang sulit, itu lebih
pada hal teknis. Tetapi secara umum kita paham dengan bahan tulisan
itu.
Artikel yang kita tulis akan bernas, punya isi, punya karakter jika kita
memang menguasai dengan baik. Pembaca pun bisa merasakan energi positif
dari tulisan yang dibuat si empunya ide. Barangkali kita sebagai
pembaca punya pengalaman membaca artikel yang menarik. Saat itu kita
seolah-olah–dalam bahasa Kompasianer Ajinatha–orgasme. Nikmat betul
membacanya. Kalau disuruh mengulang gagasan dalam artikel itu, kita
bisa. Itu contoh artikel yang dibikin penulis yang menguasai topik.
Kita pun demikian. Sulit menulis yang oke kalau secara prinsip kita
tak paham dengan isinya. Mau ke mana arah tulisan, apa saja yang mau
ditulis, poin apa saja yang akan ditawarkan. Sama saja seperti saya
menulis artikel ini. Karena suka, cukup menguasai, ada pengalaman di
situ, enak menulisnya. Meski kesulitan ada, toh tak terlalu mengganggu.
Jangan pernah memaksakan diri menulis sesuatu yang topiknya tak kita
kuasai. Bukannya tak mau belajar, tetapi akan lebih baik diendapkan dulu
sebelum menulis. Apakah topik ini kita kuasai atau tidak. Tak melulu
menulis sesuai dengan ragam pekerjaan, pengalaman, atau kekuatan utama
diri kita. Kita toh bisa menulis hasil penceritaan orang lain. Yang
penting, topiknya kita kuasai.
@Kedua, perbanyak membaca
Mereproduksi gagasan akan semakin oke jika bahan bakunya melimpah dan
berkualitas. Mencari topik yang pas untuk ditulis akan terbantu dengan
banyaknya bacaan yang kita konsumsi. Semakin banyak membaca, semakin
kaya data. Semakin sering membaca, semakin tajam perspektif kita.
Semakin melimpah bacaan, semakin mudah menarik kesimpulan.
Tegasnya, bacalah banyak literatur saat memulai mengumpulkan ide.
Misalnya, kita hendak menulis soal kematian Vaclav Havel. Kebetulan kita
memang menyukai tema-tema luar negeri beserta tokoh-tokohnya. Tentu
membaca banyak artikel tentang Havel akan membantu kita. Semakin banyak
membaca, pengetahuan tentang topik yang hendak ditulis akan bertambah.
Ini urgensinya membaca.
Stephen D. Krashen menulis, “hasil riset menunjukkan bahwa kita
belajar menulis lewat membaca”. Dengan redaksi lain, reproduksi ide akan
semakin menarik dengan bahan bacaan yang melimpah. Ruah.
@Ketiga, perbanyak ide sendiri
Usaha mereproduksi jelas bukan sekadar mengulang gagasan orang. Basi
namanya. Tulisan yang bernas ialah yang punya perspektif yang baru, yang
segar, yang mewacanakan. Tanpa itu, tulisan kita bakal sama dengan
bahan bacaan awal. Sebab itu, usahakan memperbanyak gagasan baru
terhadap objek yang ditulis. Kalau orang sudah banyak menawarkan solusi
soal pecah kongsi kepala-wakil kepala daerah, kita mesti ide baru.
Carilah apa yang belum pernah ditawarkan penulis lain. Ini membuat kita
punya keunggulan komparatif.
Kalau sekadar mengulang, tulisan kita tak memberikan sesuatu yang
baru. Maka, olahlah sebanyak mungkin sumber kemudian merumuskan formula
baru sebagai gagasan kita. Kemudian, runtutkan ide kita itu baris demi
baris, alinea per alinea.
Ide baru barangkali tak banyak disokong pembaca lantaran mungkin tak
masuk akal. Akan tetapi, dalam ranah opini, semua pendapat boleh
disorongkan. Soal ide bersobok dengan realitas yang “mustahil”, itu soal
lain. Dalam ranah wacana, ide segila apa pun bisa kita lontarkan.
Sebab, terkadang kalau mau menyesuaikan dengan regulasi, tak ketemu
titik persamaannya. Mana ketemu ide memancung koruptor dengan regulasi
di republik ini atau ide keharusan kepala daerah-wakil menuntaskan masa
jabatan dan tidak boleh mundur untuk maju di pemilihan gubernur.
@Keempat, perbanyak diskusi
Mereproduksi ide bisa diperkaya dengan diskusi. Diskusi apa saja. Apakah
yang sengaja digelar panitia tertentu atau kita berdiskusi dengan satu
atau dua orang. Intinya ada tukar pendapat. Berbagi begitu. Umumnya ini
saya lakukan jika ada poin yang saya kurang mengerti namun kisi-kisinya
saya bisa pahami sedikit. Kalau kita masih di sivitas akademika kampus,
proses menulis dengan bahan diskusi ini, mudah dilakukan. Dulu ada teman
yang kalau diskusi cenderung pendiam. Ia mendengar saja. Sering begitu.
Tapi besoknya di koran lokal, tulisan dia dimuat. Sering sekali.
Sampai-sampai teman-temannya “protes”. “Lu ini, kalau diskusi aja, diem. Eh, tahu-tahu nulis di koran. Minta dong honornya“. Hahaha, ada-ada saja.
Berdiskusi akan melatih sikap kita menanggapi ide orang lain. Apakah
kita sepakat atau tidak dengan ide itu. Itu juga melatih kita berbeda
pendapat dan menyanggah argumentasi secara bijak. Dengan diskusi bisa
juga memperkuat hipotesis kita sebagai dasar menulis. Dengan tukar
pendapat juga kita bisa menguji apakah gagasan kita oke atau tidak.
Diskusi memang banyak gunanya. Yang terpenting dalam diskusi ialah
menghargai pendapat orang lain. Apa pun argumentasi rekan diskusi, kita
terima dengan hati lapang. Sebab, itulah yang bakal memperkuat dan
memperkaya khazanah tulisan kita.
@Kelima, jangan lupa KISS!
Saban menulis soal opini atau artikel, ini yang kerap saya ulang. Meski
sulit, saya mengupayakan kalimat yang singkat. Bisa delapan kata dalam
satu kalimat, bagus. Maksimal empat belas kata, juga tak apa. Sebab,
jika lebih dari itu, bisa memusingkan. Semakin memusingkan, malas
meneruskan bacaan. Sebab itu, mari kita menulis singkat, tepatnya pendek
dan sederhana.
Peter Henshall dan David Ingram dalam buku Menjadi Jurnalis memberi konsep KISS. Maknanya,keep it short and simple.
Bikin kalimat pendek dan sederhana. Gagasan yang bagus jika dinarasikan
terlalu panjang bisa membosankan. Sebaliknya, gagasan yang biasa, tapi
ditulis ringkas, mudah dipahami. Untuk itu, menulis pendek ini tantangan
buat semua penulis. Menulis pendek juga membantu kita merunutkan ide
yang hendak digulirkan. Satu per satu ditulis. Kalimat per kalimat
ditatah. Alinea per alinea disusun. Pendek-pendek saja. Jangan
panjang-panjang.
Hernowo dalam Quantum Writing menulis bahwa ada pengukuran
efektif yang dikembangkan Robert Gunning. Ia berasal dari Robert Gunning
Clear Writing Institute di Santa Barbara, Kalifornia. Ini alat pengukur
tingkat bacaan suatu tulisan. Nama metodenya Fog Index.
Menurut Fog Index, kita akan aman menulis jika satu kalimat ada 10-14
kata. Hati-hati jika lebih dari itu. Kecuali untuk penulisan materi
yang sangat teknis. Penelitian menunjukkan 50 persen pembaca tersesat
jika kalimat mengandung lebih dari 14 kata. Bahkan, 80 persen pembaca
akan bingung jika dalam satu kalimat lebih dari 20 kata. Maka itu, yuk
kita menulis pendek.
@Keenam, sesekali beri kutipan
Supaya reproduksi ide kita kuat, sesekali diselingi kutipan. Bisa
kutipan langsung, ujaran, misalnya. Atau bisa juga kutipan dari buku
atau artikel. Ini sebagai selingan supaya ada penyegaran. Di poin di
atas saya juga mengutip soal Fog Index tadi sebab buat saya itu baru.
Paling tidak, itu menarik untuk dikutip.
Memberikan kutipan itu serasa efek kedut, sesekali saja. Supaya
terkejut, supaya ada hentakan. Tapi, kembali ke gagasan awal, perbanyak
ide segar dari kita sendiri. Kutipan bisa mendukung gagasan kita, bisa
juga sebaliknya. Asal kontennya masih konteks, itu bagus dipakai.
Mengutip memang tak ada persentase pasti. Bisa hanya 20 persen atau
kurang dari itu. Yang pasti itu sekadar penyegaran agar pembaca
menemukan perspektif lain. Yang utama ya tetap gagasan kita. Jangan malu
mengutip, apalagi kalau narasinya memang sudah dikenal. Misalnya Lord
Acton, power tends to corrupt. Itu sudah dikenal. Aneh juga kalau kita menulisnya tanpa menjelaskan itu tesis siapa. Ya kan?
@Ketujuh, berikan solusi konstruktif
Ide segar berbanding lurus dengan solusi dalam tulisan. Beberapa penulis
memang beranggapan kalau opini tak mesti berisi solusi. Asal sudah
dipaparkan, itu sudah cukup. Tak perlu memaksakan ada solusi. Saya kira
ini benar kalau kita melihat konteks tulisannya. Kalau tulisan kita
mayoritas naskahnya pemaparan, ada kecenderungan tak memerlukan solusi.
Akan tetapi, kalau konten yang kita tulis soal problem, biasanya ada
solusi. Mau tak mau, penulis “dipaksa” memberikan solusi, apa bagusnya,
apa sarannya, dan sebagainya.
Sebetulnya, menulis solusi di opini itu bagus untuk belajar.
Penulisnya dipaksa untuk mencurahkan gagasan terbaiknya dalam tulisan.
Dengan memberikan solusi, ada hal baru yang bisa dibaca khalayak. Adanya
solusi, bisa menjadi pembanding untuk pengambil kebijakan. Boleh jadi,
kesimpulan yang kita bikin menarik minat pemangku kepentingan.
Syukur-syukur penulisnya diundang menyampaikan secara resmi gagasannya
dalam acara resmi. Buat saya, menulis opini itu mereproduksi ide,
bagaimana pendapat Anda? Terima kasih. Selamat memasuki tahun baru 2012.
Semoga kita semakin bijak dan produktif menulis. Wallahualam bissawab.
http://rautkata.com/blog/portfolios/opini/